Cerpen (Selembar Harapan, Menjadi Beberapa Halaman)
Mengenang masa lalu tidak memberikan jaminan masa depan yang bahagia. Berada di titik kehilangan rasa percaya pada orang lain, perlu kehangatan kembali memelukku. Aku Alya, keterbatasan bicara dengan orang sangatlah hemat. Apalagi ketemu orang baru. Kalau bicara pun seperlunya. Tak heran jika mengenalku pendiam. Berhubungan dengan keramaian sangat aku hindari. Rasanya ingin berlari sekencangnya menuju tempat sepi. Dunia pendidikan memberikan ruang dan keberanian berhadapan dengan orang banyak. Memanggilku terus berusaha percaya diri.
Kalau lagi kumpul, pastinya aku hanya mengangguk dan menjawab "iya" serta ikut tertawa. Rasa takut salah selalu menghantui pikiran, sehingga tanggapan itu ku pendam saja. Impian besar mulai mengahampiri dalam benak, saat aku terjun dalam dunia menulis.
Tanganku menggeledah ke dalam tas disisiku. Mataku terbuka menarik alis ke atas. catatan di kertas terlipat kecil teringat aku menyimpannya di tas. Setiap sepuluh menit sebelum berangkat sekolah aku menyempatkan untuk menonton permainan di aplikasi Youtube dan dengerin lagu-lagu anak.
Telingaku berdenging samar. Jelas ada memanggil.
"Hey, Alyaaa.." Panggil Rani dari arah belakang.
Aku yang terus berjalan, tidak menyahutnya.
"Hey, baru berangkat juga?" Menepuk punggung dengan keras.
"Iya nihh!"
"Pagi-pagi ngelamun diteriakin gak nyaut-nyaut. Kenapa sih?"
"Maaf-maaf gak dengar." Kami pun berjalan menuju sekolah tempat mengajar.
Perhatian telah ku berikan pada orang lain, sampai aku pun merasa impian ku belum tertata sesuai yang diingin. Semakin dipikirin, nyatanya membuat stress juga.
Jam istirahat pun tiba. Aku berjalan keluar gerbang sekolah mencari jajanan untuk mengisi perutku yang bunyi. Karena, sebelumnya tidak sempat sarapan.
"Alya, Mau kemana?"
"Mau jajan."
"mau minta tolong nitip beli Batagor." Sambil memberikan uangnya.
"Iya, pedes gak?"
"Mmm..Engga deh"
Aku pun duduk dihadapkan beberapa jajanan yang di beli. Dan bertukar cerita dengan Rani sampai terlewat dua menit jam masuk.
"Orang pendiam itu emang gak berhak cerita ya? lebih baik jadi pendengar baik aja gitu?" pertanyaanku ditengah-tengah cerita.
"kenapa kamu merasa begitu?"
" Yaa,,kadang orang menilaiku, gak asik diajak ngobrol, atau bahkan gak bisa diajak bercanda." Jawabku.
"Artinya, mereka belum paham kepribadian kamu." Tegasnya, membuatku sedikit lebih lega.
Aku dan Rani pun pulang ke rumah masing-masing berakhir pelukan sebelum jalan.
Aku buka laptop di ruangan kamar depan. Membuka aplikasi Microsoft Words. Mengetikan kata-kata yang muncul dalam benakku. Lalu ku pandang catatan yang ku tulis, dengan rasa bangganya; "ternyata aku keren juga ya bisa bikin kalimat begini sampai jadi karya." Gumamku dalam hati penuh bangga.
Malam hari Ayah melihatku masih saja berhadapan dengan laptop, di setengah pintu terbuka.
"Masihh belum tidur?" tanya Ayah.
"Iyaa belum."
"Ayo tidur udah malam ini. Begadang terus."Terdengar nada marah.
Rasa penasaran semakin terhubung, untuk terus menelusuri arah pikiranku yang akan membawa jalan cerita tujuan ku ke mana.
ide-ide itu muncul ketika suara binatang-binatang menghilang, tertidur lelap menggapai keheningan sunyi. Ayah masih terus saja memantauku dan bertanya lagi.
***
Prosesnya memang lama, dalam menyusun kata-kata menjadi kalimat ajaib dimata orang lain. Mencari-cari platform dan penerbit yang mau menerima hasil cerita yang sudah dirangkai rapi. Hingga sangat ingin sekali cetak buku.
Naskah cerpen sudah jadi. Dan coba ku kirim ke penerbit. Semoga saja diterima dan dapat cetak. Tidak hanya satu penerbit, tapi beberapa link juga aku kirimin. Tak satu pun nyangkut atau kabar baik datang.
"Alya, kenapa sihh beberapa hari ini gak fokus. Nyiapin pembelajaran pun gak nyambung?" Tanya Rani, sedikit kesal.
"Maaf ya Ran, aku juga bingung. Keuangan keluargaku lagi gak baik-baik aja."
"Aku hanya mencoba mengirim naskah cerpenku ke berbagai platform juga link."
"Terus hubungannya dengan cerpen mu?"
"Karena honornya lumayan buat nambah keuangan keluargaku." Jawaban harapan untuk itu.
Satu bulan telah terlewati, masih belum saja ada kabar apapun. Selama satu bulan itu pun aku tidak pernah melanjutkan menulis cerita apapun. Atau bahkan satu kalimat pun.
Aku memang mempunyai impian menjadi penulis yang dikenal banyak orang. Apa itu salah ya?
Ayah memanggilku dari luar rumah. "Ngapain sih, dipanggil-panggil kebiasaan nyautnya lama." Masihh lanjut nulis? Mengharapkan apa kamu dari nulis?" Nada keras. Mending kamu cari pekerjaan lain"
Menundukkan kepala adalah solusi terbaik atas segala pertanyaan yang dilontarkan Ayah padaku. Semangatku seketika senyap ditelan sampai bahwa itu tidak akan membuahkan yang nyata.
Terdengar ramai dari luar, suara anak-anak yang masih berlarian. "Wihhh banyak bintang." Teriak satu anak pada teman-temannya." Lalu ku buka jendela kamar dan menatapnya keatas langit yang indah itu.
Keputusasaan itu sudah mulai tumbuh, segala kericuhan yang terus menganggu kepalaku. Bahkan rasa malas sudah mengangkut ke alam bawa sadarku. Kalau Nulis itu prosesnya lama. Aku ingin secepatnya membantu kericuhan keuangan ini. Semesta tidak memberikan jawaban ringan agar aku bisa mencari akar dan memutuskan segalanya.
Tak lama kemudian terdengar suara orang berucap salam.
"Assalamualaikum" sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumsalam. Ehh Rani, kirain siapa? ayo masuk!"
"Kamu sakit Al? Ko pucat wajahnya?" Tanya Rani terlihat khawatir.
Perlahan aku bercerita pada Rani. Sebenarnya aku memang butuh teman yanv mau mendengarkan keluh kesahku. Percaya diriku terlelap kembali ditambah aku yang begitu tak banyak bicara.
Komentar